Monday, September 25, 2017

Cerita saka Tegal


Halo! Wah, sudah cukup lama saya nggak menulis. Harus mulai dari mana, ya? Hehe. Katanya, kalau mau menulis, maka mulailah dengan apa yang ada di pikiranmu saat ini. Apa yang saya pikirkan sekarang? Well, agak blank sebenarnya karena kerjaan kantor agak senggang dan saya sedang agak bosan. Tapi, gimana kalau saya cerita tentang perjalanan sehari saya di Tegal minggu lalu? Tegal adalah salah satu kota dan kabupaten yang ada di Jawa Tengah. Letaknya di jalur pantai utara sering menjadi perantara bagi kendaraan-kendaraan yang akan menuju kota besar di Jawa Tengah seperti Semarang atau Solo, juga Yogyakarta.

Apa yang istimewa dengan Tegal? Tegal sering dihubungkan dengan warung makan di Jakarta, alias warteg—warung Tegal. Saking banyaknya masyarakat Tegal yang merantau ke Ibu Kota dan membuka usaha kuliner sehingga istilah warteg menjadi sebuah hal yang awam didengar. Menuju Tegal dari Jakarta, saya dan Wulan menggunakan jasa transportasi kereta api, yaitu Tegal Bahari dari Stasiun Gambir. Keberangkatan mengalami keterlambatan sekitar setengah jam dari jadwal, tapi sungguh tak mengapa karena kami mendapatkan tempat yang nyaman dengan harga tiket sekitar Rp125.000. 

Waktu tempuh dari Jakarta menuju Tegal adalah empat setengah jam, dan benar saja, dari pukul delapan malam lewat lima belas menit kami benar-benar meninggalkan Gambir, akhirnya kami tiba di Stasiun Tegal pukul satu pagi! Huh, terlalu awal memang, tapi kami berdua ini fakir cuti dan sangat terlalu niat untuk menghabiskan satu hari libur tanggal merah (21 September 2017—Tahun Baru Islam 1439 Hijriyah) di kota yang belum pernah kami kunjungi. Lalu, apa yang harus kami lakukan di waktu sedini itu, mengingat kami pun nggak memesan penginapan demi kepraktisan dan hemat biaya? Syukurlah, di stasiun itu ada satu tempat makan yang buka 24 jam yaitu Teh Jawa Cafe. Jadi daripada hanya duduk-duduk di peron dengan kursi yang sama sekali nggak empuk, pastinya kami memilih untuk beristirahat di sofa di Teh Jawa Cafe. Kami pun nggak perlu mengeluarkan banyak uang untuk hal ini, hanya membeli segelas cokelat hangat seharga Rp21.000 dan selanjutnya kami bebas menyelonjorkan kaki di sofa untuk mengistirahatkan badan sampai subuh.

Tunggu, bagaimana dengan itinerary alias susunan rencana perjalanan? Itinerary adalah hal yang sering saya agung-agungkan kala saya akan melakukan perjalanan ke suatu tempat baru. Bukan apa-apa, tapi itinerary sangat membantu kita untuk menghemat biaya dan menghindari kebingungan saat berada di kota atau negara baru. Tapi, makin ke sini saya makin abai dengan itinerary. Saya hanya perlu browsing di Internet info tempat menarik yang ada di kota yang akan saya kunjungi, dan selanjutnya ditentukan di hari H mau ke mana saja—tergantung juga pada kemudahan mengunjungi tempat tersebut. Saya dan Wulan, untungnya sepakat akan hal ini. Kami yang sama-sama pekerja kantoran dan seperti yang saya sebut tadi—fakir cuti, baru benar-benar menentukan tempat apa saja yang akan kami kunjungi, saat ada di dalam kereta.

Berwisata di Tegal, kami diarahkan ke wisata alam seperti pemandian air panas dan juga curug—kawasan air terjun. Tentunya kami ingin ke sana, tapi saat mengetahui bahwa tempatnya sangat jauh, lebih dari 25 km dari kota, maka kami mengurungkan dan coba mencari tempat lain yang lebih mudah dijangkau dari kota. Apakah kami menyesali hal tersebut? Jika dilihat dari hasil perjalanan kami yang bisa mengunjungi: Pantai Alam Indah, Taman Poci, Warung Makan Pa’In, Rumah Konsorsium Wayang Ki Enthus, Danau Cacaban, Rita Park, Alun-Alun Tegal, dan Pasar Senggol dalam sehari saja; tentu bisa kami katakan kami sama sekali tidak menyesal! Pun kuliner yang bisa kami nikmati dalam sehari, beberapa makanan khas Tegal seperti sate kambing muda, telur asin bakar, kupat glabed, dan soto tauco—oh, terasa lengkap juga wisata Tegal sehari ini. Masalah transportasi selama di kota Tegal, kami sangat terbantu dengan keberadaan GoCar dari GoJek yang selalu dapat diakses dengan mudah—kecuali saat kembali dari Danau Cacaban menuju jalan raya, kami harus menggunakan ojek lokal karena tidak tersentuh akses GoCar.

Pada akhirnya, tetap saya bisa menyimpulkan bahwa perjalanan bukanlah tentang kita bisa mengunjungi tempat-tempat yang direkomendasikan atau istilahnya ‘belum ke Tegal kalau belum ke Guci’, misalnya. Perjalanan bersifat personal, apa yang bisa kita nikmati dengan sederhana, meski itu tidak terlalu menjadi tujuan mainstream, tetaplah suatu hal yang patut dikenang. Jika ada kesempatan saya akan coba menguraikan satu per satu tempat yang kami kunjungi. Tapi untuk saat ini, demi melatih tangan yang kaku karena kelamaan tidak menulis, segini dulu cukup lha ya. :)



Friday, August 15, 2014

Air Asia Mewujudkan Impianku Berkelana!


Jika ditanya, “Bagaimana Air Asia mengubah hidupmu?”, jelas akan aku katakan bahwa Air Asia membantu mewujudkan impian-impianku untuk dapat pergi jauh. Dulu, bepergian dengan pesawat terbang serasa “mahal”. Namun, dengan seringnya Air Asia mengadakan promo penjualan tiket dengan harga terjangkau, aku pun mulai berani merancang mimpi untuk pergi ke tempat-tempat yang belum pernah kujejaki. Perkenalan pertamaku dengan Air Asia adalah di tahun 2009. Boleh dikatakan, aku tidak jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Air Asia. Bayangkan saja, penerbangan dari Jakarta menuju Surabaya yang seyogianya berlangsung pada siang hari, mengalami penundaan tidak kurang dari dua kali sehingga baru benar-benar terbang pada malam hari. Catat: di malam Natal pula. Yap, tanggal 24 Desember 2009 adalah hari pertama aku akhirnya bisa merasakan terbang menumpangi burung besi. Aku bersama kakak laki-lakiku, kakak ipar, serta anak mereka—keponakanku berusia balita, hendak pulang ke rumah orangtua kami di Gresik, sehingga kami mengambil penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Juanda. Rencana kami adalah tiba di rumah sore hari, sehingga tidak terlalu letih untuk menyambut Natal keesokan harinya. Namun sayang, rencana tinggal rencana, karena kami sampai di Surabaya sekitar pukul sembilan malam dan harus berjibaku dengan kemacetan jalan raya yang disesaki kendaraan dari dan menuju gereja. Perasaan kesal sempat hinggap terhadap Air Asia karena penundaan keterlambatan ini. Untungnya, ketika memasuki kabin pesawat, perasaan itu tergantikan dengan rasa kagum melihat kondisi fisik pesawat yang amat prima. Penerbangan pertama kusambut dengan rasa deg-degan sekaligus penasaran, dan ketika akhirnya pesawat lepas landas, ada seperti suatu perasaan baru di dada. Serasa ada beban yang terangkat. Awak kabinnya pun ramah dengan senyum dan penawaran bantuan yang menyamankan rasa. :)

Pengalaman pertama boleh jadi diwarnai kesal, tetapi apakah aku kapok menggunakan maskapai penerbangan milik negara Malaysia ini? Tentulah tidak. Karena tak sampai setahun kemudian, tepatnya November 2010, lagi-lagi aku memanfaatkan maskapai ini untuk dapat terbang. Kali ini, tak lagi sekadar ke luar kota, melainkan luar negeri! Ya, bulan kesebelas itu adalah pengalaman backpacking-ku pertama kali ke luar negeri: Singapura. Mengapa memilih Air Asia? Ya karena tarifnya yang terjangkau, sehingga aku bisa menghemat untuk perjalanan ini. Kalau tak salah, aku mendapatkan harga Rp250.000,00 untuk penerbangan Jakarta-Singapura. Jadwal penerbangan di pagi hari, dan kali ini tidak pakai keterlambatan. Puji Tuhan.... :) Akhirnya mendarat juga aku di Bandara Changi yang membekaskan kekaguman akan kemewahan dan kemodernannya. Terima kasih, Air Asia, karena telah turut berjasa dalam pengalaman perjalanan pertamaku ke Singapura. Banyak hal yang aku dapatkan di Singapura. Pengalaman menjelajahi “negeri orang”, mempelajari budaya tertib dan sarana transportasi yang modern dan sangat menunjang mobilitas warganya, juga tentunya canda tawa bersama teman-teman baru. Oho, aku tidak sendirian dalam perjalanan murah meriah ini. Ada Vania (teman kuliahku), Ariy (penulis buku perjalanan yang sekaligus sebagai koordinator perjalanan kali ini), Ricky, Remy, dan juga Nello. Mereka adalah kawan-kawan yang asyik, dan berjalan bersama teman-teman yang seru selalu menghadirkan  kenangan tak terlupakan, bukan? :)

seru backpacking-an bareng teman-teman di Singapura :)


Air Asia tak berhenti mewujudkan keinginanku untuk berkelana. Aku jadi ketagihan terus untuk menyimak promo-promo yang ditawarkan maskapai ini. Di tahun berikutnya, 2011, Air Asia mewujudkan mimpiku untuk kembali ber-backpacking ria ke negeri lain, kali ini Thailand. Di bulan Oktober 2011, lagi-lagi Air Asia berperan dalam sesuatu yang pertama kalinya kulakukan. Mau tebak apa tepatnya? Di perjalanan ke Bangkok ini, merupakan solo traveling pertama bagiku ke luar negeri. Yay! Berbekal tiket terjangkau dengan rute Surabaya-Bangkok pulang-pergi dengan harga sekitar Rp1.200.000,00, aku pun bertamu ke negeri gajah putih. Berbekal tekad dan keberanian, serta mempersiapkan itinerary dari jauh-jauh hari, aku mengunjungi beberapa tempat menarik seperti kawasan Khaosan Road, National Stadium, Jimmy Thompson’s House & Museum, Lumpini Park, Chatuchak Weekend Market, juga mal di kawasan Siam. Pertemuan dengan Sasher, Lilian, dan Florian—para pejalan asing yang sekadar kusapa dan lantas menjadi akrab—juga membuatku semakin membuka mata dan pikiran akan pengalaman-pengalaman mereka saat traveling. It was awesome! :)
Dua teman baru--sesama backpacker--yang saya jumpai di Bangkok ^^

Kata orang, kebahagiaan akan lebih terasa jika dibagikan. Beberapa kali berjalan-jalan secara mandiri, akhirnya timbul ide juga untuk mengajak orangtua turut serta. Dan, lagi-lagi ide ini juga tebersit karena kabar gembira dari Air Asia! Aku lupa tepatnya nama promo besar-besarannya. Yang jelas, berkat promo itu, di bulan Januari 2012 aku bisa mengajak Papa untuk mengunjungi negeri tetangga. Dengan rute Surabaya-Kuala Lumpur-Singapura-Kuala Lumpur-Surabaya, aku hanya perlu mengeluarkan uang sekitar Rp1.500.000,00 untuk dua orang; aku dan papaku. Murah banget, kan? Awalnya, Papa sempat menolak. Namun kurayu juga dengan iming-iming kapan lagi bisa berkunjung ke luar negeri, mumpung ada rezekinya? Dan memang, kunjungan ke dua negara tetangga itu ternyata adalah untuk pertama dan terakhir kalinya bagi papa traveling ke luar negeri. Awal tahun 2014 ini papa telah dipanggil Tuhan :( . Dan aku bahagia karena salah satu kenangan berharga Papa di dunia ini turut kuukir bersamaku, meski tak sempurna juga. Aku merasakan bagaimana harus bertoleransi dengan orangtua yang tentunya tak segesit anak muda saat berjalan-jalan, belajar menenggang perasaan lemah papa, dan meski aku sempat merasa gagal melakukan itu semua, namun kulihat senyum dan ucapan “terima kasih” yang tulus dari Papa saat kami mendarat di Bandara Juanda usai perjalanan empat hari itu. :)

Papa di Putrajaya

Papa di Skybus saat baru mendarat di Changi :)





Itu adalah beberapa ceritaku mengenai betapa Air Asia telah mewujudkan impianku berkelana. Air Asia mengubah pola pikirku bahwa “jalan-jalan itu mahal” menjadi “jalan-jalan itu sangat bisa diraih dengan biaya terjangkau”. Bonus lagi, beberapa cerita perjalananku di atas turut menghantarkanku meraih angan-angan menjadi penulis buku perjalanan. Backpacking di Singapura, Bangkok, juga Kuala Lumpur saat bersama Papa, menjadi bagian dalam cerita-cerita yang kutulis di buku Antravelogi (Bhuana Ilmu Populer, Januari 2014). Perjalanan terakhir bersama Air Asia adalah saat aku ke Makassar di bulan Juni 2013, tiketnya pulang-pergi hanya sekitar Rp150.000,00. Semoga saja perjalanan itu bukan benar-benar terakhir, ya. Sungguh rindu dapat terbang bersama Air Asia lagi. :)

Buku yang memuat beberapa perjalananku bersama Air Asia. :)

[Artikel ini diikutkan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia: https://www.facebook.com/notes/airasiaindonesia/kompetisi-blog-10-tahun-airasia-indonesia/810741058958974]



Thursday, May 29, 2014

Selalu Ada Pelangi

Ada yang ingat asal-usul terjadinya pelangi? Bagaimana mungkin seusai hujan yang dimuntahkan awan lantas terbentuk lengkung serupa busur terdiri atas tujuh warna? Tentu ada teori tentang terjadinya pelangi yang berhasil dirumuskan oleh mereka yang pintar. Namun yang kuingat dari cerita masa sekolah mingguku dulu, pelangi timbul pertama kali usai hujan berkepanjangan yang menimpa dunia masa Nabi Nuh. Kala Sang Penguasa memilih untuk membentuk ulang bumi ini dengan memusnahkan seluruh penghuninya, terkecuali orang-orang pilihannya; keluarga Nabi Nuh beserta satwa sepasang dari tiap jenis. Lalu, setelah hari yang ditentukan usai, Tuhan membuat tanda perjanjian bahwa peristiwa serupa itu tak akan terjadi lagi. Dan materai perjanjian itu diwujudkan lewat hal yang indah. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Pelangi.

Maka terciptalah suatu kebiasaan, bahwa sehabis hujan akan muncul sebusur pelangi. Sayangnya, aku tak selalu beruntung. Sering, usai hujan, aku akan terpaku menatapi sudut langit-langit—ya, seolah-olah langit memiliki sudut saja—dan berharap akan dapat melihat warna-warna indah itu. Tidak, aku tak selalu menjumpainya. Hingga aku lupa untuk mencarinya, dan terkadang tahu-tahu dia menampakkan dirinya sendiri. Kadang kutatapi dengan takjub, kadang aku memandang sambil lalu.

Hari itu, katakanlah, aku sedang beruntung. Bagaimana tidak, aku dapat mencapai Selebes[1] hanya dengan tiket penerbangan seharga kurang dari seratus lima puluh ribu rupiah, pulang-pergi! Berkat merespons cepat pada penawaran promo sebuah maskapai penerbangan yang baru membuka rute Jakarta-Makassar, aku mendapatkannya. Cita-citaku untuk menjejak setiap pulau besar di negeri ini terwujud selangkah lagi. Kalimantan sudah terwujud kala mengunjungi Balikpapan di tahun 2012, lalu Sumatra di awal tahun 2013 dengan mengunjungi beberapa kota di Provinsi Sumatra Barat. Dan kini, Juni 2013, Pulau Sulawesi akhirnya kujumpai. Sebuah keberuntungan yang menuju pada keberuntungan lain. Menjumpainya. :)

Ada beberapa tempat yang kusinggahi kala berada di ibu kota Sulawesi Selatan. Dan salah satunya, adalah Fort Rotterdam. Kawasan bersejarah yang namanya memiliki nuansa negara yang pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Menjumpai bangunan-bangunan tua sebagai salah satu warisan sejarah Kesultanan Gowa, dengan area nan sejuk karena pepohonan yang menaungi. Karena sendiri saja, maka aku memiliki waktu bebasku sendiri di sini. Asyik memotreti bangunan-bangunan yang mengelilingiku, pun mengabadikan tanaman-tanaman yang tertata asri. Saking asyiknya, hingga aku baru menyadari ada tetesan tipis menghampiri ragaku. Hujan. Aku bergegas, berteduh di bawah atap bangunan, di salah satu sudut. Aku melirik jam tangan sambil berharap hujan tak akan terlalu deras dan tidak lama, karena aku memiliki janji bersama beberapa kawan yang akan mengiringi perjalananku selama empat hari ke depan.

Dan sembari menunggu kepastian alam berpihak padaku, mataku mengedari kawasan tua nan terawat ini. Sejarah berkaitan erat dengan kenangan. Faktanya, benteng ini merupakan benteng paling megah di antara tujuh belas benteng yang dimiliki Sultan Gowa pada abad ketujuh belas. Benteng yang dibangun pada tahun 1545 ini pernah hancur karena penyerangan tentara Belanda. Mereka yang menghancurkan, mereka pulalah yang membangunnya kembali. Makanya namanya kemudian menjadi Fort Rotterdam. Pada awalnya, tentu tak begitu. Benteng Jumpandang, demikian nama asli benteng ini kala dibangun pertama kali oleh Kesultanan Gowa.

Selalu ada pengharapan usai keputusasaan. Selalu ada penghiburan usai kedukaan. Dan aku tersenyum kala Tuhan mengabulkan harapku. Hujan berhenti, karena ketika kutengadahkan tanganku untuk memastikan, rintik itu hampir tak terasa. Merasa tak mau menyiakan waktu, aku kembali melangkah, kali ini lebih masuk ke area belakang kawasan yang menjadi kebanggaan warga Makassar ini. Mungkin karena jalanan aspal yang menanjak, atau beban yang ditanggung punggungku karena menyangga ransel besar berukuran lima puluh liter; aku pun mulai terengah. Dengan napas yang tak seprima sebelumnya, aku berhenti, melepas beban itu dan membiarkannya di aspal, lalu kuletakkan tubuhku sendiri di sebuah dudukan. Menengadah dan, Puji Tuhan, sungguh aku beruntung hari ini! Di sana kulihat lengkung warna-warni itu. Meski tidak tebal benar penampakannya, tipis, tapi cukup jelas terlihat. Hei, tak hanya doaku terkabul karena telah sampai di pulau indah ini tanpa merogoh kantong terlalu dalam, juga cuaca yang bersahabat, tetapi bonus yang ada jauh di atas kepalaku ini sungguh membuatku terhibur!

“Sungguhkah? Haa!”

Aku bergumam sendiri. Tak mengapa, karena tak ada pengunjung lain di dekatku saat itu. Mataku terus kukedipkan, sekadar memastikan. Namun busur warna-warni itu masih nyata di atas sana.


[Fort Rotterdam, Makassar, 05 Juni 2013]

Selalu ada pelangi seusai hujan. Mungkin kita tak selalu melihatnya, tetapi percayalah bahwa dia ada.... Serupa pengharapan yang selalu ada disediakan oleh Tuhan bagi kita.... :)


[1] Nama lain Pulau Sulawesi

Monday, March 31, 2014

[Sekali Lagi Tentang] Berkemas ...



Mari bicara tentang berkemas, sekali lagi.... Biar kumulai dengan mengatakan ini; aku tak pandai berkemas. Karena berapa hari pun aku pergi, tetap saja ranselku akan berbeban berat dan membuncit. Aku tak paham bagaimana mengepak yang baik, pun cara memilih barang-barang yang perlu dan tidak. Rupanya, aku sadar satu problemaku; bahwa aku mengetahui begitu besar rongga yang dimiliki tas punggungku, sehingga aku merasa aman menjejalkan semuanya. Baju bertemu dengan buku, komputer jinjing bersentuhan dengan sepatu, handuk setengah basah dilipat begitu saja dan terbungkus plastik, atau peralatan mandi dan pakaian dalam yang tak memiliki cukup sela. Dan akibatnya, aku akan menanggung buntelan itu dan lama-lama punggungku menjadi lelah. Berbeban berat, tanpa tahu bahwa tak semuanya aku perlukan atau tertata dengan benar.

Lalu, aku menemukan satu pengertian lagi. Karena rupanya demikian pula dengan hati. Bahwa aku sering merasa hatiku cukup luas untuk menampung segala. Aneka rupa kenangan bertumpang-tindih; bergesekan dengan kebahagiaan dan bertukar sapa dengan kemarahan. Aku tak menyadari ketika aku tak dapat mengatur rongga-rongga hatiku, maka selanjutnya aku akan berjalan dengan tertatih. Sebentar tersenyum, sedetik kemudian curiga. Hatiku dipaksa membawa semuanya dengan tidak beraturan. Aku lupa bahwa aku harus mengatur ulang agar ia tidak merasa letih lagi. Aku abai dengan segala peringatan dan tanda yang ia berikan, bahwa ia tak sanggup lagi menampung semuanya dengan berantakan. Alhasil, aku bagaikan pengelana yang membawa hati compang-camping, robek di sana sini, segala isinya berdesakan minta dikeluarkan. Tidak betah. Dan ketika aku sadar semua itu terjadi, aku sudah jatuh terkulai, menangis dengan berbagai sebab, dan menyepelekan segala kebahagiaan yang pernah tercipta.

Aku merasa... menjadi orang paling nahas sedunia. :(

Satu April dua ribu empat belas, menjelang pukul tiga dini hari; dua belas jam sebelum menuju Jakarta.

Thursday, March 6, 2014

Tamu VIP !! *kisah semalam di The Buoy Hostel, Manila!*

"So, how long you'll stay here in Manila?" 
tanya pak sopir taksi yang, yah aku tahu dia hanya berusaha ramah, tapi sumpah deh aku capek banget! Ini adalah perjalanan pertamaku di Filipina, dan merupakan hari ketigaku di negara ini. Hari pertama, pagi hari sampai di Manila dan aku sempat muter-muter nggak jelas menggunakan bus bandara dan MRT-nya beberapa jam, lalu siangnya terbang ke Cebu, sebuah kota di pinggir laut. Menghabiskan dua setengah hari di kota dengan ambience tenang ini, lalu di sinilah aku malam ini, kembali menekuri jalanan kota Manila yang... berantakan! Hah, maaf kalau aku menilai buruk terhadap kota ini, tapi firasat nggak enak sudah kurasakan semenjak pertama menginjakkan kaki di kota ini. Dengan suasana yang crowded banget di stasiun MRT-nya, gerbong kereta yang sudah penuh sesak tapi tetap menerima penumpang-penumpang baru, dan terlebih tadi, sebelum naik taksi ini. 

Ah, gilak! Nyasar di sebuah negara asing tak selamanya menyenangkan ternyata. Ya, ya, mungkin ini kemakan ucapan sendiri: I need to get lost, and get lost needs no itinerary*. Hehehe, merasa akrab dengan kalimat itu? :) Nyatanya, menyasarkan diri di sebuah kota asing tanpa rencana yang jelas juga berarti siap-siap memanggul ransel berat tanpa arah, pegal, lelah, hidung siap diserbu bau pesing jalanan Manila, ugh... jorok banget sih! Yaps, hal-hal tadi yang kurasakan sebelum akhirnya menyerah untuk menaiki taksi ini menuju hostel yang sudah kupesan berada. (baca tentang kisah tersasarku di Manila di sini).

Selama bepergian ke luar kota dan luar negeri, bisa dihitung pakai jari banget deh aku naik taksi kayak begini. Alasan utamanya tentu aja ngirit, karena aku nggak pernah membawa bekal uang terlalu banyak saat traveling. Paling ingat waktu naik taksi di Bangkok. Sama juga kasusnya, baru mendarat di bandara, terlalu malam untuk menuju hostel, bingung mau naik transportasi massal apa ke sana, akhirnya naik taksi deh! Bedanya, kalau pas di Bangkok** aku masih pakai acara tawar menawar dengan pak sopir cakep, yang tadi aku langsung naik saja sambil menyebut nama jalan yang kutuju. Nggak pakai nawar! Huh, pede gila! Tapi tentu saja setelah itu mataku tak lepas menatap argo taksi diselingi melirik luar jendela. Capek sih capek, tapi khawatir duit nggak cukup ya tetap ada. Aku bahkan seperti kurang menghargai pak sopir yang terus mencoba ngobrol dengan ramah. Duh, maaf banget ya, Pak!

"And here we go...," ucap lelaki ramah itu. Hore, kami telah sampai!! Dan puji syukur kepada Ilahi karena ternyata argo menunjukkan ongkos yang tidak mahal. Lupa berapa persisnya, yang jelas masih jauhlah dari sisa uangku saat itu. Aku mengangsurkan pembayaran, sambil menyebut nominal kembalian yang perlu dia berikan untukku, aku bulatkan sedikit untuk tip bagi kebaikan dan keramahan beliau. :) Pheeew! Aku kembali menyandang carrier-ku dan melangkah mendekati bangunan itu. Kucermati baik-baik... sebuah bar? Sudah nggak asing lagi bagiku, kalau hostel sering kali juga merangkap sebagai kafe atau bar, seperti yang kujumpai di Bangkok. Kutatap lagi lekat-lekat plang namanya. Benar, kok, The Buoy Hostel. Aku pun memasuki pintu bar dengan yakin, menyapa salah satu pelayan wanita yang pertama kutemui dan menyampaikan maksud kedatanganku. Kuangsurkan selembar print out booking-an hostel kepadanya.

"Wait here for a minute," pintanya. Aku mengangguk saja, sambil mengamat-amati  sekeliling. Hm, suasana bar saat itu terasa santai. Tak banyak tamu, musik mengalun tak seberapa kencang juga. Mencoba menyibukkan diri dengan melihat-lihat menu, mencari-cari tanda visa atau master dan tak menemukannya; membuatku urung ikut memesan makanan atau minuman di bar ini mengingat uang sakuku yang semakin menipis. Huft, mana sih si Mbak tadi? Lama amat, jangan sampai aku harus memesan minuman mahal nih di sini saking lelahnya menanti! Entah apa yang dia diskusikan dengan petugas lain di dalam, tapi akhirnya dia kembali menemuiku dan mengurus pembayaranku. 

Kelar dengan urusan pembayaran, dia pun mengantarkanku ke tempat aku akan beristirahat. Keluar melalui pintu samping, berjalan ke belakang, hoo... ternyata si hostel terletak di belakang bar dan menjorok ke dalam. Aku pun dioper kepada seorang cowok yang menjadi penjaga hostel. Mereka berdua memperbincangkan sesuatu lalu si Mbak pergi meninggalkanku dengan cowok Filipina yang wajahnya juga berunsur melayu ini. Aku tersenyum basa basi, dia menyapa dan menanyakan namaku, lalu kami berjalan menuju dorm yang telah kupesan; sebuah dorm khusus wanita. Dan... di sinilah keterkejutanku dimulai! Seharusnya, aku sudah mulai merasa aneh tatkala si cowok membuka salah satu kamar di lorong itu dengan sebuah kunci. Namun mungkin aku terlalu lelah untuk menyadarinya, hingga terbukalah pintu dorm itu, dan...



Do you see what I see?? Ya, benar, di sana terdapat empat bunk bed yang berarti kamar itu dapat diisi oleh delapan orang. Namun, apakah kau melihat ada orang lain di sana selain jaketku yang kugeletakkan sembarangan di salah satu ranjang? Yup, foto ini kuambil tentunya setelah sang petugas meninggalkanku. Dan foto ini bukan aku ambil setelah menunggu semua pengunjung pergi... karena nyatanya,

"Am I alone in this dorm??"

"Yes, apparently there's no  other customers at this time."

Woah! Aku melongo saja mendengar jawaban si cowok. Dia mengajakku masuk dan menjelaskan standar tentang isi dorm. Melihat-lihat kamar mandi, dan hal-hal lain yang standar saja. Tapi aku masih belum selesai dengan keterkejutanku. Sampai dia pergi dan memberikan kunci kamar padaku. Nginap di kamar seluas ini... sendirian? Are you kidding me?? Haha, bukannya apa-apa, toh aku juga biasanya tinggal sendirian di kamar kos -yang pastinya nggak seluas ini. Tapi... ini dorm hostel gitu lho, di luar negeri gitu lho, gimana kalau.... Stop! Aku mencoba mengusir bayangan aneh-aneh itu jauh-jauh dan akhirnya berlanjut dengan terkikik sendirian! 

Huahahahaha!! Aku pun kembali pada semangat traveling-ku untuk mengalami segala hal yang serbabaru, termasuk, ya tidur di dorm gede ini SENDIRIAN!! Aku meletakkan ransel, membongkar beberapa barang dan meletakkanya di salah satu ranjang. Sambil mengingat-ingat lagi dan bersyukur, untung saja hanya semalam! Huehehe, maka kekhawatiranku akan kesendirian ini beralih menjadi menikmati menjadi tamu VIP di dorm ini selama beberapa jam ke depan!

Review cepat tentang suasana di dorm The Buoy Hostel ini. Cukup nyaman, dengan kamar mandi dalam sejumlah satu buah yang lumayan bersih juga. Tidak ada AC, tapi ada kipas angin tertempel di dinding. Seperti ini:


Oh ya, ada deretan loker juga untuk menyimpan barang, di dekat kamar mandi. Namun aku tak memedulikan loker itu, toh hanya semalam dan sekali lagi, SENDIRIAN! Aku meletakkan ransel besar di lantai, barang bergeletakan di ranjang. Bahkan, saking menghayati suasana menjadi tamu VIP ini, aku juga mengunci pintu kamar dan mandi dengan seenaknya. Ehm, dalam arti seenaknya, aku bebas saja keluar-masuk kamar mandi dengan telanjang bulat untuk mengambil pakaian bersih atau peralatan mandi yang tertinggal! Upppss... :D Sudah seperti saat aku kos dengan kamar mandi dalam di daerah Fatmawati aja di tahun lalu! Huahahaha!!

Lalu, setelah merasa segar dan bersih, perut pun keroncongan. Mau tak mau aku keluar mencari makan, mengabaikan saat itu sudah menjelang tengah malam. Masih tak tahu mau makan apa, ternyata aku menemukan ada Seven Eleven di dekat sana. Hihihi, aku tertawa lagi. Lagi-lagi diselamatkan oleh minimarketnya para alay ini, nggak di Jakarta... nggak di Manila. Bingung mau memesan makanan instan apa, akhirnya aku memilih suasana Korea:


Nasi kotakan ini pun aku nikmati sendirian di dalam kamar, dan bodo amat deh dengan sampahnya, aku kumpulkan saja di plastik dari Sevel tadi dan taruh begitu saja di lantai. Toh nggak akan ada roommate yang protes, besok sajalah aku buang! XD 

Waktu-waktu selanjutnya kuhabiskan dengan, seperti biasa kalau sedang berada di hostel dengan fasilitas wifi, browsing!! Internetan, ngetwit, ngecek e-mail kerjaan (yeah, masih ada naskah yang harus dicek), dan lain-lain sampai benar-benar ngantuk dan tertidur. Esoknya, antara lelah, uang saku yang benar-benar ngepas, juga stuck dengan kondisi Manila yang suasana kotanya semrawut, aku pun memutuskan untuk nggak ke mana-mana lagi. Sempat memang terpikir mau mampir ke satu tempat saja, Mall of Asia yang terkenal itu. Masa, sih, udah di Manila tapi nggak ke mana-mana? Tapi aah, males deeh, harus mikirin ke sana naik Jeepney atau MRT apa? Makannya di sana habis berapa? Terus ke bandaranya gimana... akhirnya ya aku habiskan aja sisa-sisa waktuku menjadi tamu VIP di kamar ini. Mengingat jadwal terbang kembali ke Jakarta juga masih sore menjelang malam, ini yang kulakukan selama di kamar:


Ada yang tahu itu music video dari lagu apa?? Hihihi, itu One Direction yang judulnya "Best Song Ever"! Aku benar-benar memanfaatkan fasilitas Internet buat streaming yang selama ini jarang kulakukan, sambil selonjoran nggak jelas di ranjang. Sekali lagi juga demi menghayati kebebasanku menjadi tamu VIP, total ada tiga bunk bed yang sudah kucicipi! Satu bunk bed buat naruh beberapa barang, satu buat tidur pas malam, satu lagi buat selonjoran sambil ngenet di pagi sampai siangnya. Lihat aja kamarnya kayak gini:


Bebas, siiisst!!! Hihihi... kapan lagi ya kan kayak begini? Tapi sebenernya kalau disuruh milih, nggak lagi-lagi deh di dorm yang gede hanya sendirian, keruan aja kalau di kamar privat, ya kan? Bukannya takut, tapi, eh... ya oke ngaku deh ada sedikit takut kalau bukan aku sendirian yang ada di sana sebenarnya! Hiii.. :D

Waktu semakin berlalu, perut terasa lapar, akhirnya sekitar pukul 12 siang lewat aku benar-benar check out mau ke bandara sekalian cari makan. Oh ya kondisi hostel di luar kayak begini nih setelah aku foto dalam kondisi terang:



What do you think? Not bad, kan?? Menurutku, hal-hal seperti ini memang di luar dugaan kita dan yang bisa dilakukan ya dinikmati ajaa! Tapi, kalau kamu orangnya bener-bener gampang khawatir dengan kondisi sendirian seperti ini ya, saranku sebelum benar-benar berangkat, bisa dipastikan dulu ke pihak hostel. Misalnya seminggu sebelumnya, tanya via e-mail berapa orang yang akan menemanimu dalam satu dorm. Toh kalau dibatalkan nggak akan rugi banyak, maksimal 10% uang muka biasanya. Tapi kalau kamu orangnya traveler cuek kayak aku, stay calm aja laah.... Kapan lagi kan jadi tamu VIP dengan dana cekak?? XD

*diambil dari novelku yang bertema perjalanan dan romantika: Get Lost
** cerita lengkapnya ada di buku catatan perjalananku: Antravelogi (promo colongan, hehe)